Tuesday, March 14, 2017

Nayla

Pagi ini Nayla baru saja datang. Seperti biasanya ia datang bersama kakaknya yang akan berangkat ke sekolah. Mengenakan kaus merah muda dan celana panjang jeans ia kelihatan begitu cantik. Casual. Sementara Prita, kakaknya itu, seperti biasanya berseragam sekolah. Rapih, siap berangkat.

"Ibu, berangkat dulu, ya. Nanti pulang sekolah ke sini lagi," kata Prita sambil menyalam tangan ibunya, setelah bercermin untuk memastikan kerapihan pakaiannya.

"Ya," jawab ibunya, Ibu Nurul, yang sedang terbaring di tempat tidur sebelahku. Tatapan matanya kosong, tak menyiratkan ekspresi apa-apa.

Akhir-akhir ini aku memang sering memperhatikan pasien di sebelah tempat tidurku ini secara diam-diam. Tatapan matanya banyak menyiratkan ekspresi sedih. Sementara tubuhnya terbaring lemah karena tulang rusuknya yang patah.

Kuputuskan untuk pura-pura tidur sementara ini. Siang ini hanya satu orang pasien di instalasi rawat inap kelas tiga ini, yang kulihat asyik dengan bukunya, sedangkan yang lainnya tertidur atau sengaja tidur untuk beristirahat. Sementara aku sendiri terlalu malas membaca buku yang sudah kubawa. Aku lebih tertarik 'membaca' keadaan di sekitarku. Sedangkan keputusanku berpura-pura tidur adalah demi Nayla. Benakku terdorong untuk serius memikirkan anak itu

Akhir-akhir ini ketika kami sudah makin akrab, jika dilihatnya aku tidak melakukan apa-apa ia akan mengajakku bermain tebak-tebakan atau bercerita apa saja. Sementara ia bercerita, aku mendengarkan celoteh khas kanak-kanaknya. Tentang teman satu sekolahnya, Anna yang dihukum guru, lalu si Bagus yang sudah berpacaran padahal mereka masih anak kecil. Dan cerita-cerita lainnya, tak tahu pasti itu semua benar-benar terjadi atau hanya khayalannya saja. Aku bisa berpikir begitu karena aku teringat masa kecilku. Dulu aku juga gemar berceloteh panjang, bahkan terkadang kubumbui cerita itu dengan khayalanku sendiri. Lucu sekali, membuatku tersenyum jika mengingatnya.

Jika telah kehabisan cerita, Nayla akan balik menanyakanku apa saja yang terlintas di benaknya. Apakah aku punya adik seperti adiknya, apakah aku punya kakak seperti yang ia punya, apakah rumahku bertingkat, dan lain-lain yang sangat tidak penting bagi orang dewasa yang sibuk memikirkan bisnis apa hari ini.

Apakah tanpa sadar aku memang telah bersikap layaknya kanak-kanak di hadapannya? Tapi mendapati keadaan yang demikian aku tidak keberatan. Aku berniat memanfaatkan keadaan seperti itu agar dia bisa menerima nasehatku. Semoga dia mau menuruti untuk tidak bolos sekolah lagi, aku berharap sungguh-sungguh. Aku semakin yakin dengan niatku untuk menasehatinya nanti, pada moment yang tepat.

Mungkin sepertinya tidak tepat memberinya 'pengaruh' untuk melakukan apa yang justru berlawanan dengan kemauan keluarganya. Tapi aku memiliki alasan sendiri meskipun aku bukan bagian dari keluarga mereka. Tentu alasan itu bukan untuk kuberikan kepada mereka, karena mereka akan tetap tidak suka dengan tindakanku yang bagi mereka tidaklah etis.

Alasaku ini tentulah hanya demi kepuasanku saja. Karena bagiku, bagaimanapun juga aku tidak tega seorang anak kecil menjadi korban terus-menerus.

Pertama, dari cerita-ceritanya tanpa perlu kukorek lebih dulu, Nayla tahu bahwa Ny. Nurul, ibunya itu jatuh sakit lantaran kekerasan ayahnya.

”Kan ibu tulangnya patah, mbak. Abis, waktu itu dipukul sama ayah, eh.. ibu jatoh dari tangga,” celetuknya tanpa kuminta dengan gaya bicaranya yang khas. Waktu itu ia mengikutiku keluar ruangan untuk membeli beberapa kotak susu dingin di toko waralaba sebelah rumah-sakit.

Mendengarnya bicara begitu aku tak bisa berkomentar. Aku hanya diam, sebab dalam hati aku kaget. Namun aku berusaha agar ekspresiku terlihat senetral mungkin, meskipun telah menjadikan omongannya itu bahan perenunganku sendiri.

Sambil memberinya satu buah kotak susu, benakku memberi respon: Tidak sepatutnya anak kecil merekam kekerasan dalam ingatannya. Kedua, meskipun Nayla mau-mau saja menjaga ibunya, ia masih terlalu kecil. Selain rumah-sakit adalah tempat sumber berbagai penyakit. Patahnya tulang rusuk Ny. Nurul juga telah mengganggu sistem syaraf sehingga ia tidak sanggup bangkit dari tempat tidurnya untuk bolak-balik ke kamar mandi.

Nayla hanya bisa menunggu Prita kakaknya dari sekolah karena tidak bisa melakukan tindakan apa-apa, bahkan ia hanya diam takut dimarahi suster-suster yang sering berkomentar pedas, ketika ibunya harus buang airbesar saat itu juga di bangsal, dua hari yang lalu.

.... Jam di ponselku saat ini telah menunjukkan pukul 11.35. Biasanya sebentar lagi makan siang datang. Aku tidak bisa terus-menerus tidur karena perutku juga sudah mulai lapar. Kuputuskan untuk cerita kepada salah seorang sahabatku, Rumiko melalui pesan pendek.

Sambil mengetik-ngetik pada ponsel aku menyadari, persoalan Nayla telah menjadi beban tersendiri bagiku. Padahal kalau aku berpikir secara realistis, aku tahu ia bukanlah siapa-siapaku. Tapi melihat kepolosannya sebagai bocah di bawah umur, dan rasa kasihku juga pada Ny. Nurul yang malang, rasanya bantuan doa tidaklah cukup. Aku masih bisa melakukan aksi yang lebih realistis, jawabku atas pikiranku tadi.

Selain karena aku masih bisa bicara karena aku bukan menderita penyakit menular, tindakanku ini adalah demi para perempuan, khususnya yang telah menjadi korban KDRT...

"Tensi," suara suster Delima yang halus terdengar seolah takut mengagetkan kami.

Aku yang sedari tadi sibuk dengan ponselku langsung teringat Nayla. Ternyata ia sedang duduk di samping ibunya sambil memegang sebungkus cemilan. Sosoknya yang mungil itu kini teraling sosok suster Delima yang agak gempal, yang sudah menghampiriku untuk mengukur tekanan darah.

"Sus," sapaku pelan, "Maaf nih. Anak kecil memangnya boleh di sini, ya?"

"Biarkan saja, mbak. Sudah diberitahu, koq supaya jangan bawa anak di bawah 12 tahun ke sini. Tapi ya begitu, deh. Dasar bandel," jawabnya santai, lalu memfokuskan perhatian pada tugasnya. "Banyak koq, yang begitu, mbak," imbuhnya tanpa kuminta. Seolah-olah itu hal yang biasa saja.

"Ooh..," hanya itu yang bisa keluar dari bibirku. Sebetulnya aku ingin sekali menimpali, "Ya kalau sudah tahu banyak yang begitu seharusnya pihak rumah sakit cepat-cepat ambil tindakan, dong." Tapi apa daya, aku masih sadar, aku berada di sini juga atas kebaikan pihak rumah-sakit, yang memberikanku cara agar mendapat pertolongan medis dengan keringanan biaya.

"Seratus duapuluh per delapanpuluh. Bagus, mbak," suster Delima menginformasikan hasil pemeriksaan tekanan darahku.

"Thank you," aku memberinya senyuman terramah.

"You're welcome," balasnya tersenyum pula.

"Eh, Nayla di sini?” tegurku akhirnya, menyudahi kepurapuraanku tadi. ”Berarti Nayla ngga masuk sekolah lagi, dong?" tanyaku semanis mungkin, tapi berharap dirinya sadar dengan maksudku.

Ia mengangguk.

"Terus, besok gimana? Ngga dimarahin bu guru?"

Ia menggeleng. Lalu katanya, "Kan udah dibikinin surat sama kak Nur. Nayla ada keperluan keluarga."

Aku mengerutkan kening. "Keperluan keluarga"?

"Iya, mbak. Kan Nayla disuruh jagain ibu.”

Aku jadi menerka-nerka, jangan-jangan ia dengan senang hati dibuatkan surat lagi untuk gurunya. Maklum, waktu kukecil dulu aku juga senang-senang saja diajak bolos sekolah.

”O..” kataku datar. Aku jelas tidak suka mendengarnya. ”Tapi besok Nayla sekolah, ya? Mau, kan? Nanti Nayla ketinggalan pelajaran, lo!” rayuku tanpa putus asa.

Ia hanya mengangguk, tapi sepertinya tidak yakin.

"O'o. Kamu ketahuan... pacaran lagi... dengan dirinya................." tiba-tiba terdengar suara riang bocah-bocah dari luar jendela.

Nayla segera berlari ke arah jendela. Tapi ia tidak mendapati siapa-siapa di luar gedung yang terhalang pagar tembok rumah-sakit ini. Dari dalam ruangan rawat inap yang sepi ini kami baru saja menangkap suara teriakan anak-anak dari perkampungan sekitar rumah sakit ini.

Tak lama kemudian makan siang yang dibawa dari dapur rumah-sakit ini datang. Mendengar kereta dorongnya yang khas, Nayla segera berlari menghampiri tempat tidur ibunya untuk menyuapinya makan siang. Sesudah itu tentu Ny. Nurul harus minum obat. Nayla harus memberinya juga, atau jika tidak yakin bisa ia akan memberanikan diri memanggil suster meminta bantuan.

.......

Pagi ini tak kudapati Nayla yang bolos sekolah seperti biasanya. Ia sudah kembali bersekolah.
Adik dari Ny. Nurul datang menggantikan Nayla.

”Nayla-nya ke mana?” tanyaku berbasa-basi. Padahal hatiku senang. Aku cukup puas, meski tahu kembalinya Nayla ke sekolah tidak bisa dibilang depenuhnya karenaku. Melainkan kesadaran dari keluarga Ny. Nurul.

”Sekolah.”

Kemarin siang kudengar ibu dan kedua abang dari Ny. Nurul datang dan mereka berbisik-bisik sepertinya penting sekali. Tapi sayup-sayup aku mendengar kata-kata seperti ”tuntut”, ”polisi”, ”cerai” kata-kata yang hanya menjadi rahasia mereka. Aku tidak ingin ikut campur ataupun sekedar ingin tahu lagi.

(cerpen saya sekitar 10 tahun lalu yang kebetulan masih terarsip)